Pendidikan: Ilusi Kemajuan – Pendidikan hari ini bukan lagi soal membentuk manusia berpikir. Ia telah berubah menjadi pabrik produksi massal dengan standar seragam yang membunuh kreativitas dan membekukan nalar. Sekolah-sekolah berdiri megah dengan jargon “unggul, modern, berintegritas”, namun di dalamnya hanya ada barisan anak-anak yang dilatih untuk patuh, bukan berpikir.
Sejak dini, murid di paksa duduk diam, mencatat, dan menghafal. Pertanyaan kritis di anggap membangkang, argumen di labeli sok pintar, dan kesalahan di permalukan, bukan di jadikan batu loncatan pembelajaran. Pendidikan, yang katanya alat pembebasan, malah menjelma jadi alat penjinakan massal. Kita mencetak anak-anak yang takut gagal, bukan yang berani mencoba. Yang mengejar nilai, bukan makna. Yang menghapal rumus, tapi tak paham realitas.
Kurikulum Tanpa Nyawa
Mari lihat ke dalam buku-buku pelajaran. Penuh definisi kaku, contoh soal yang klise, dan materi yang seringkali tak nyambung dengan dunia nyata. Kurikulum kita seolah hidup di dunia paralel—satu di mana Pancasila harus di hafal, bukan di hayati; satu di mana matematika jadi siksaan, bukan alat eksplorasi logika.
Anak-anak di cekoki teori yang terlalu berat untuk usianya, tapi tidak di beri ruang untuk mencerna dan memahami secara kontekstual. Pelajaran tentang ekonomi tidak mengajarkan cara mengatur keuangan pribadi. Pendidikan kewarganegaraan tidak melahirkan warga negara yang sadar hak dan kewajiban. Bahasa Indonesia di ajarkan tanpa rasa, hanya penuh ejaan dan struktur. Tidak heran kalau kita tumbuh menjadi masyarakat yang gemar ikut arus, takut berbeda, dan alergi diskusi.
Guru yang Dipaksa Menjadi Robot Sistem
Para guru, yang seharusnya menjadi garda depan perubahan, malah terjebak dalam belenggu administrasi dan target absurd. Mereka di paksa menyelesaikan silabus, mengejar nilai ujian nasional, dan mengisi tumpukan laporan tanpa akhir. Tidak ada ruang untuk inovasi, tidak ada waktu untuk memahami murid secara personal.
Bahkan guru-guru terbaik pun bisa kehilangan semangat ketika setiap langkah mereka di awasi oleh sistem yang lebih peduli pada angka ketimbang proses. Mereka bukan lagi pendidik, tapi operator kurikulum yang sudah ketinggalan zaman. Mereka bukan membimbing manusia, tapi mengejar checklist.
Dan ketika ada guru yang mencoba berbeda—membawa pendekatan kreatif, metode baru, atau suasana kelas yang hidup—mereka seringkali di anggap “tidak sesuai prosedur”. Sistem pendidikan kita tidak memberi ruang bagi eksperimen. Ia memuja kepatuhan.
Sekolah Elite dan Sekolah Sisa
Kesenjangan dalam pendidikan semakin menganga. Di satu sisi, ada sekolah internasional dengan fasilitas canggih, metode pengajaran mutakhir, dan akses global. Di sisi lain, ada sekolah negeri yang atapnya bocor, jumlah gurunya kurang, dan fasilitas seadanya.
Pendidikan telah menjadi komoditas. Siapa yang punya uang, dapat pendidikan “berkualitas”. Siapa yang tidak, harus puas dengan yang ada. Pemerataan hanyalah mimpi. Anak-anak dari desa terpencil harus berjalan berkilometer hanya untuk duduk di kelas sempit dengan papan tulis yang retak. Sementara anak kota belajar dengan proyektor, laptop, dan guru lulusan luar negeri.
Padahal pendidikan seharusnya menjadi alat kesetaraan. Tapi hari ini, justru pendidikan yang mempertegas garis pemisah antara si kaya dan si miskin. Yang satu di siapkan untuk memimpin, yang lain hanya di latih untuk ikut perintah.
Ujian Nasional: Ritual Tahunan yang Tak Lagi Relevan
Sistem ujian nasional adalah bukti paling gamblang dari kekacauan ini. Di anggap sebagai tolok ukur kemampuan, padahal hanya mengukur seberapa baik siswa bisa menebak jawaban dalam waktu terbatas. Apa gunanya nilai tinggi kalau tidak mencerminkan kemampuan berpikir kritis atau pemecahan masalah bonus new member 100?
Ujian demi ujian hanya mengajarkan satu hal: jangan salah. Dan dari ketakutan itu, tumbuh generasi yang penuh tekanan, cemas, dan tidak percaya diri. Padahal kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Tapi tidak dalam sistem ini. Di sini, nilai adalah segalanya. Proses di anggap angin lalu.
Pendidikan yang Kehilangan Arah
Kita hidup dalam sistem pendidikan yang tidak lagi punya arah jelas. Ia berbicara tentang inovasi, tapi takut pada perubahan. Ia mengklaim membentuk karakter, tapi gagal menciptakan integritas. Ia berbicara tentang masa depan, tapi tertinggal dari kenyataan.
Dan selama kita terus mempertahankan sistem ini—sistem yang menjadikan siswa sebagai produk, guru sebagai mesin, dan sekolah sebagai pabrik—maka pendidikan hanya akan menjadi ilusi. Sebuah kebohongan besar yang kita ulang setiap hari, dengan seragam rapi dan wajah palsu bernama harapan.